Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan bahwa orang yang berpegang pada kebenaran itu terasing.
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing” (HR. Muslim no. 145, dari Abu Hurairah).
Guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan berkata, “Keterasingan ini muncul ketika sudah ramainya kejelekan dan kesesatan. Akhirnya yang ada keterasingan pada kebenaran.” (Syarh Al Masail Al Jahiliyyah, hal. 41).
Patokan kebenaran bukanlah dilihat dari banyaknya pengikut. Patokannya adalah tetap melihat apakah bersesuaian dengan kebenaran. Kalau memang standar banyak yang dijadi patokan kebenaran, itu baik. Namun mayoritas yang banyak itu merujuk pada kebatilan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya-.” (QS. Yusuf: 103).
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am: 116)
Jangan merasa bahwa yang banyak diikuti dan diamalkan berarti selalu benar. Kalau prinsip seorang muslim selalu memakai patokan yang banyak itulah yang benar berarti dalam dirinya masih menganut prinsip beragamanya orang Jahiliyyah. Padahal sifat jahiliyyah selalu menunjukkan kehinaan.
Sekaligus kami ingin mengingatkan kembali...
Bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar