Senin, 27 Agustus 2018

TUNAS-TUNAS RADIKALISME


Oleh: Tri Handoyo

(Dirangkum dari pemikiran KH Dr. Imam Ghazali Said, MA, Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo, Surabaya. Beliau mendapat gelar S-1 di Universitas Al-Azhar Mesir, sedangkan S-2 di Hartoum International Institute Sudan. Kemudian beliau melanjutkan studi S-3 di Cairo University Mesir. Kini intelektual muslim ini aktif sebagai Rois Syuriah PCNU Surabaya dan dosen UIN Sunan Ampel Surabaya)

Belakangan ini Nahdlatul Ulama sebagai organisasi, mendapat serangan bertubi-tubi dari kelompok radikal. Sebenarnya kelompok besarnya itu Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Ismailiah, Mesir. Organisasi ini didirikan oleh Syaikh Hasan Al-Banna pada tahun 1928. Syaikh Hasan Al-Banna yang moderat ini berusaha mengakomodasi kelompok salafy yang wahabi, merangkul kelompok tradisional yang mungkin perilaku keagamaannya sama dengan NU dan juga merangkul kelompok pembaharu yang dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Syaikh Al-Banna menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin itu harkah islamiyah, sunniyah, salafiyah, jadi diakomodasi semua, sehingga ikhwanul muslimin menjadi besar.

Dalam Ikhwanul Muslimin ada lembaga bernama Tandhimul Jihad. Di dalam struktur, kelompok ini sangat rahasia. Kader yang berada dalam dilatih militer, doktrinnya pakai kesetiaan seperti tarikat kepada mursyid. Para milisi ini menarik kelompok-kelompok sekuler yang ingin belajar tentang kemiliteran. Gammal Nasser dan Anwar Sadat juga dulunya belajar di Tandhimul Jihad ini. Akan tetapi mereka bagian dari militernya, bukan dari ideologi Ikhwanul Muslimin.

Ketika pada 1948 Israel mendeklarasikan diri sebagai negara, maka kemudian terjadilah perang. Tandhimul Jihad terlibat dalam peperangan ini. Tapi akhirnya Arab kalah dan Negara Israel berdiri. Kemudian Tandhimul Jihad pulang kembali ke Mesir, yang saat itu masih di bawah kerajaan Raja Faruk dan sistemnya masih perdana menteri, Nugrasi. Kekalahan perang ini menimbulkan gesekan antara Hasan Al-Banna dan Taqiuddin. Hasan Al-Banna berprinsip perjuangan harus diprioritaskan pada memperbaiki sumber daya manusia. Sementara Taqiuddin bersikukuh agar terus melakukan perjuangan bersenjata. Taqiuddin berpendapat kekalahan Arab atau Islam karena dijajah oleh sistem politik demokrasi dan nasionalisme. Sedang Hasan Al-Banna berpendapat sebaliknya. Menurut dia, tidak masalah umat Islam menerima sistem demokrasi dan nasionalisme, yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara. Akibat perselisihan ini kemudian Taqiuddin keluar dari Ikhwanul Muslimin dan memprakarsai berdirinya Hizbut Tahrir.

Setahun kemudian, Hasan Al-Banna ditembak mati. Sedang Taqiuddin terus mengkampanyekan organisasinya di Syria, Libanon dan Yordania. Tandhimul Jihad kemudian diambil alih Sayid Qutub, ideolognya Ikhwanul Muslimin. Ia dikenal sebagai sastrawan dan penulis produktif, termasuk tafsir yang banyak dibaca oleh umat Islam di Indonesia. Nah, Sayid Qutub ini mendatangi Taqiuddin dan membujuknya agar secara ideologi tetap di Ikhwanul Muslimin. Tapi Taqiuddin menolak karena ia beranggapan bahwa Ikhwanul Muslimin sudah masuk lingkaran jahiliyah.

Hizbut Tahrir (Partai Pembebasan), yang pada awalnya bercita-cita membebaskan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel, merancang kosep ideologi khilafah Islamiyah. Sementara di negaranya sendiri telah berdiri negara nasional. Di Lebanon, juga sudah menjadi negara nasionalis, begitu juga di Yordania. Di Syiria telah berdiri negara sosialis. Akhirnya Hizbut Tahrir yang menganggap nasionalisme itu sebagai jahiliah ditolak dan divonis sebagai organisasi terlarang di berbagai tempat. Akhirnya Hizbut Tahrir bergerak di bawah tanah (dengan menyembunyikan identitasnya) berusaha menyusup ke pemerintahan, ke parlemen, dan juga ke militer. Mereka juga menyusup ke berbagai ormas. Dari situlah kemudian terjadi upaya-upaya untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah pada jaman Raja Husein, Yordania. Sehingga sebagian anggota Hizbut Tahrir diajukan ke pengadilan dan dihukum mati.

Hizbut Tahrir di Indonesia dikembangkan melalui mahasiswa yang belajar di Mesir. Pola ikhwan, pola Salafy dan pola Hizbut Tahrir secara ideologi ada kesamaan. Mereka sama-sama ingin menerapkan formalisasi syariat Islam. Hanya bedanya, kalau Salafy cenderung ke peribadatan, atau dalam bahasa lain mengislamkan orang Islam, karena dianggap belum Islam. Target utamanya NU karena ini dianggap sarangnya bid’ah, khurofat dan takhayul. Sedangkan kelompok Ikhwanul Muslimin, bergerak lewat mahasiswanya yang dinamakan usrah (keluarga). Nah, kelompok inilah yang kemudian menamakan diri sebagai Tarbiyah yang bermarkas di kampus-kampus. Kelompok Tarbiyah inilah yang menjadi cikal bakal PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Kelompok ini masih agak moderat karena masih mau menerima negara nasional. Tapi substansi perjuangan formalisasi syariat sama dengan Hizbut Tahrir atau Salafy.

Hizbut Tahrir sampai sekarang punya konstitusi yang terdiri dari 187 pasal. Dalam konstitusi ini ada program-program jangka pendek. Yaitu dalam jangka 13 tahun, menurut Taqiuddin, sejak berdiri 1953, Negara Arab itu sudah harus jadi sistem Islam dan sudah ada khalifah. Taqiuddin juga menarget, setelah 30 tahun dunia Islam sudah harus punya khalifah. Tapi itu tidak terjadi.

HTI terus terang menganggap Pancasila adalah jahiliah. Nasionalisme bagi mereka jahiliah. Tapi kelompok-kelompok ini pandai memanfaatkan institusi yang ada, seolah-olah mendukung pemerintah untuk mempengaruhi MUI (Majelis Ulama Indonesia). Tapi mereka taqiah (menyembunyikan agenda perjuangan aslinya). Taqiah itu ideologi Syiah tapi dipakai oleh mereka.
Hizbut Tahrir membentuk beberapa tahapan dalam menuju pembentukan khilafah Islamiah. Pertama, taqwin asyakhsyiah islamiah, membentuk kepribadian Islam. Mereka pakai sistem wilayah, karena gerakan mereka internasional. Tapi sekarang pusatnya tak jelas, karena di negaranya sendiri sangat rahasia. Mereka dikejar-kejar karena Hizbut Tahrir ini organisasi terlarang. Tapi mereka sudah ada di London, Austria, di Jerman dan sebagainya. Mereka sangat agresif, jadi terus menyerang. Karena itu orang-orang NU didatangi, termasuk kiai-kiainya didatangi oleh mereka. Kedua, attau’iyah, penyadaran. Ketiga, at-ta’amul ma’al ummah, interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Mereka membantu kepentingan-kepentingan masyarakat. Keempat, harkatut tatsqif, gerakan intelektualisasi. Ini diajari bagaimana menganalisa hubungan internasional, mempelajari kejelekan-kejelekan ideologi kapitalisme. Pada intinya yang ideologi modern itu mereka serang semua. Ini agak berbeda dengan Ikhwanul Muslimin dan Tarbiah Islamiah yang kemudian menjelma sebagai PKS. Sebab Ikhwanul Muslimin agak fleksibel. Kasus di Syria, di bawah Mustofa as-Syiba’i, ketika ideologi pemerintahannya sosialisme, mereka ikut sosialis. Ia mencari landasan hukum bahwa sosialisme itu benar menurut Islam. Maka Mustofa as-Syiba’i menulis buku Istiroqiyah Islamiah, jadi sosialisme Islam.

Yang terakhir, at-taqwin daulah islamiah, membentuk Negara Islam. Ini bahayanya. Karena gerakan selanjutnya adalah istilamul hukmi, merebut kekuasaan secara paksa. Karena mereka didoktrin demikian dan pengikutnya sebagaian besar generasi muda. Nafsu untuk berkuasa bertopeng agama. Kenapa? Ada pemikiran apakah negara yang pakai sistem jahiliah itu perlu fiqh? Padahal fiqh itu adalah hukum Islam yang harus dilaksanakan dalam pemerintahan yang Islam. Ini terjadi perdebatan antara Sayid Qutub dan Wahba Suhairi. Dr Wahba ini orang Syria yang kitabnya jadi kutub muktabarah di NU. Sayid Qutub ini asalnya kan seorang hakim. Tapi, ketika dia masih jadi hakim ia masih menganggap penting sistem khilafah. Menurut Sayid Qutub dan Taqiuddin Nabhani, fiqh tidak perlu dipelajari atau dipraktikkan sepanjang suatu negara belum melaksanakan sistem Islam. Sedang Wahba Zuhaili menganggap bahwa fiqh adalah suatu keniscayaan. Ini jadi polemik. Menurut Wahba, orang Islam harus belajar fiqh, baik negaranya Islam maupun tidak Islam. Jadi menurut Wahba tidak hanya sistem pemerintahan saja, tapi bagaimana orang nikah, orang salat, muamalah, semua itu kan fiqh yang ngatur. Tapi menurut Sayid Qutub dan Taqiuddin Nabhani tidak perlu itu. Yang penting bagaimana memperjuangkan menegakkan pemerintahan Islam, baru setelah itu fiqh. Karena itu meski buku-buku atau tulisan Sayid Qutub banyak tapi tak ada fiqhnya. Semua buku-buku dia bernuansa politik. Misalnya pertarungan Islam dan kapitalisme dan sebagainya. Kekuasaan lebih utama.

Kita bisa memetik pelajaran dari Turki. Erdogan yang jadi gubernur istambul (1994-1998) dan menjadi anggota Partai Kesejahteraan bentukan Erbakan, akhirnya malah memutuskan keluar dari partai dan cuci tangan darinya. Dia merangkul Fethulah Gulen yang moderat dan dikenal sebagai sufi. Erdogan ingin mencintrakan dirinya sebagai muslim moderat yang siap menerima semua Golongan. Ketika akhirnya menjadi PM Turkey tahun 2003, kebijakan luar negeri Erdogan pertama kali adalah nornalisasi hubungan dengan Israel. Maka tidak mengherankan jika dia beberapa kali bertemu dengan pejabat-pejabat tinggi Israel bahkan PM Israel. Erdogan juga tidak segan-segan menghadiri dan bergabung dgn klub ADL (anti defamation league) yg berisikan tokoh-tokoh zionis garis keras.

Selama kekuasaan Erdogan, korupsi merajalela. Dia membangun istana 1000 pintu dan tinggal di dalamnya. Dia hancurkan Suriah, mengggunakan Isis dan Jahbat Nusra utk menjajah Suriah hingga saat ini.

Ketika Erdogan tahu bahwa Gulen mulai muak dengan perilakunya, dia tidak segan menikam Gulen dan menuduhnya sebagai pengkhianat yang merusak tatanan Turki ala Erdogan. Bahkan sahabatnya yang setia mendampinginya, PM Turki, Ahmed Davotoglu pun dia singkirkan. Pendek kata, Setan pun, bagi Erdogan, adalah sekutunya jika itu diperlukan dalam memperluas kekuasaan. Dan IM memujanya setinggi langit, dan menjadikannya berhala.

Jika HTI berperan sebagai agitator dengan memproduksi hoax, dan anasir IM adalah politikus jahat, maka tentara jalanannya adalah salafy jihadi. Anasir-anasir salafy jihadi inilah yg rela terjun dijalanan dan mengangkat senjata jika diperlukan. Mereka berani mati.

Hizbut tahrir adalah mesin hoax untuk mendelegitimasi pemerintah sah Suriah. IM bermain politik dengan menguasai Syria National Coalition (SNC), sementara salafy jihadi bergabung bersama ISIS dan Jahbat Nusra. ketiganya bekerja sama menghancurkan Suriah.

Ketika Gus Dur memimpin NU, beliau membuka cakrawala baru di kalangan generasi muda NU. Gus Dur menyajikan wacana baru Islam sebagai etika sosial. Dan ini kemudian menjadi gaung NU sampai sekarang. Pak Hasyim Muzadi juga dalam berbagai kesempatan menyatakan tidak memperjuangkan Islam seperti teksnya semata tapi yang jauh lebih penting adalah ruhnya. Bisa saja KUHP seperti sekarang tapi ruh Islam ada di situ. Nah, dalam hal ini pengaruh Gus Dur sangat besar.

NU itu fiqh-minded. Fiqh siyasi (politik) di NU kurang berkembang, yang dikembangkan adalah fiqh dalam kontek negara nasional. Ketika Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri NU) mengeluarkan fatwa resolusi jihad Negara Indonesia dalam kondisi bukan negara agama. Jadi Negara yang dipertahankan waktu itu bukan negara Islam. Jadi NU tak bisa lepas dari negara nasionalis atau sebagai nasionalis. Nah, fatwa jihad Kiai Hasyim itu merupakan fatwa pertama di dunia Islam yang mempertahankan negara nasionalis. Belum ada ketika itu ulama yang berfatwa kewajiban jihad untuk mempertahankan Negara nasionalis. Jadi Kiai Hasyim Asy’ari itu pelopor pertama.

NU menerima sistem hukum penjajah dalam keadaan darurat. Karena negara tidak boleh kosong dari hukum. Selanjutnya, NU berjuang agar hukum yang berlaku di negara ini bisa menjadikan fikih sebagai salah satu sumber dari hukum nasional kita. Dari situ, NU ikut ambil saham dalam penerapan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang saat ini berlaku di Indonesia. Tentu HTI belum punya saham dalam memperjuangkan hukum Islam di negara nasional ini, sehingga tidak logis jika HTI langsung menentang negara nasional ini gara-gara tidak memberlakukan syariah Islam secara kaffah.

Perjuangan NU dalam menegakkan syariah baik sebagai etika sosial maupun sebagai hukum formal tidak bisa diletakkan di luar NKRI. Karena NKRI ini didapat dengan perjuangan para syuhada yang gugur pada prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. Pendek kata, NU tidak terpisahkan dari negara nasional ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar