Geger Cilegon atau dikenal dengan Pemberontakan Petani Banten. Pemberontakan yang dipicu karena kemelaratan, kesenjangan sosial, dan kenistaan terhadap agama Islam itu meletus pada malam hari tanggal 9 Juni 1888.
Menurut daftar rapat pemerintahan Belanda pada masa itu, mereka yang memberontak adalah hampir semua para kiai dan mereka yang pernah pergi haji di Mekkah. Seperti H Marjuki (pemimpin pemberontakan terhadap Belanda), H Iskak, H Mohammad Arsyad, H Abu Bakar,H Wasit, H Muhidin, H Asnawi, H Mohammad Asik, H Mufrad, H Ismail, dan lainnya
Dikutip dari Republika.co.id, Dalam buku berjudul 'Perbendaharaan Lama' yang diterbitkan Pustaka Panjimas tahun 1982 bila salah satu pemicu kerusuhan itu adalah akibat adanya pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dengan suara keras.
Hamka menulis begini:"..Tetapi menurut catatan dari Pangeran Ahmad Jayadiningrat, bekas regen Serang dan salah satu pegawai tinggi pemerintah Belanda yang amat terkenal, sebab pemberontakan ialah karena di belakang rumah resident Goebels di Jombang Tengah ada sebuah langggar. Langgar itu bermenara.
Seketika waktu Maghrib orang selalu membaca shalawat atau tahrim atau azan dengan suara keras, sehingga selalu menggangu beliau (Goebles:red) yang nyenyak tidur.
Maka oleh karena kesenangan beliau terganggu beliau perintahkan kepada Patih, supaya dibuat surat edaran, melarang shalawat, tahrim, dan azan itu tidak dilakukan keras-keras, karena "Tuhan tidak pekak!" Dan menurut penyelidikan Tuan Patih, menara langgar di belakang rumah tuan asisten residen itu telah tua, lebih baik diruntuhkan saja. Lalu diperintahkab opas-opas untuk meruntuhan!.."
Tentu saja tokoh ulama setempat, H Wasit (yang kemudian menjadi salah satu pemimpin pemberontakan) merasa berang. Apalagi sebelumnya dia sempat terkena hukuman denda sebesar F.7,50 Gulden karena menebang 'pohon kayu keramat' yang selama ini dipakai sebagai ajang praktik kemusyrikan oleh sebagian masyarakat. Akibat adanya dua tindakan itu maka para haji, ulama. dan tokoh masyarakat di Cilegon merasa bahwa perasaan ke-Islaman mereka telah sangat direndahkan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda.
Nah, adanya tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial yang akut, ditambah adanya kebijakan yang 'menyingkirkan praktik keagamaan kaum Muslim' di Cilegon, maka jiwa berontak dikalangan rakyat membesar dengan hebat. Apalagi kemudian aturan mengenai pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dari Goebles tersiar di seluruh kalangan kaum santri di banten.
''Kalau telah begini yang terjadi sekarang, betapa lagi selanjutnya? Apalah artinya menjadi orang Islam, di tanah air sendiri pula, kalau perbuatan musyrik (pembiaran Pohon Keramat:red) mendapat perlindungan dari pemerintah, dan pegawai pemerintah sendiri telah berani berlancang meruntuhkan menara sebuah langgar? Niscaya akan datang lagi larangan lain, sehingga hapuslah Islam dari negri kita ini,'' begitu tulis Hamka ketika menggambarkan perasaan H Wasit dan kawan-kawan seperjuangannya.
Maka, ulas Hamka, Haji Wasit menemui temannya Tubagus Ismail, dengan tujuan memperbincangkan bahaya yang menimpa agama Islam ini. Dan sama dengan Hawi Wasit, Haji Ismail pun telah merasakan hal yang sama. Kawan yang lain, ulama yang lain pun juga merasa sama!
''Apa akal? Berontak!,'' tulis Hamka.
Nah, sekarang kita bisa menilai bahwa orang-orang yang tidak suka mendengar azan, shalawat dari Masjid perlu dipertanyakan statusnya? Apakah masih menyimpan sifat-sifat Belanda di zaman yang sudah merdeka ini? Dan lucunya lagi latahnya rakyat Indonesia yang intoleransi ikut-ikutan bilang begini: “Tuhan tidak pekak!” betapa bebal sekali manusia yang berkata demikian.
l
Tidak ada komentar:
Posting Komentar