Rabu, 21 Maret 2018

NAFSU TERSEMBUNYI (اَلشَّهْوَةُ اَلْخَفِيَّةُ)


Beberapa pakar sejarah Islam meriwayatkan sebuah kisah penuh makna. Kisah Ahmad bin Miskin, seorang ulama (Tabi'in) abad ke-3 Hijriyah dari kota Bashrah, Irak. Beliau bercerita,

Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijriyah. Saat itu, aku sama sekali tidak memiliki apapun, sementara aku harus menafkahi seorang istri dan seorang anak. Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hari kami.

Maka aku bertekad untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Akupun berjalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku.

Bertemulah aku dengan sahabatku Abu Nashr dan kuceritakan kondisiku. Lantas, dia malah memberiku 2 lembar roti isi manisan dan berkata: “Berikan makanan ini kepada keluargamu.”

Di tengah perjalanan pulang, aku berpapasan dengan seorang wanita fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku. Dengan memelas dia memohon,

“Tuanku, anak yatim ini belum makan, tak kuasa terlalu lama menahan rasa lapar yang melilit. Tolong beri dia sesuatu yang bisa dia makan. Semoga اللّٰه ﷻ Merahmati Tuan.”

Sementara itu, si anak menatapku polos dengan tatapan yang takkan kulupakan sepanjang hayat. Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dalam khayalan ukhrawi, seolah-olah syurga turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada siapapun yang ingin meminangnya, dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.

Tanpa ragu sedetikpun, kuserahkan semua yang ada ditanganku. “Ambillah, beri dia makan”, kataku pada si ibu.

Demi Allah, padahal waktu itu tak sepeserpun dinar atau dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat membutuhkan makanan itu.

Spontan, si ibu tak kuasa membendung air mata dan si kecilpun tersenyum indah bak purnama.

Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah gontaiku, sementara beban hidup terus bergelayutan dipikiranku.

Sejenak, kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambil terus memikirkan rencanaku menjual rumah. Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku.

“Hei, Abu Muhammad...! Kenapa kau duduk-duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?”, tanyanya.

“Subhanallah....!”, jawabku kaget. “Dari mana datangnya?”

“Tadi ada pria datang dari Khurasan. Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapapun yang punya hubungan kerabat dengannya. Dia membawa berduyun-duyun angkutan barang penuh berisi harta,” ujarnya.

“Terus?”, tanyaku keheranan.

“Dia itu dahulu saudagar kaya di Bashrah ini. Kawan ayahmu. Dulu ayahmu pernah menitipkan kepadanya harta yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun. Lantas dia rugi besar dan bangkrut. Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu.

Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan. Di sana, kondisi ekonominya berangsur-angsur membaik. Bisnisnya melejit sukses. Kesulitan hidupnya perlahan-lahan pergi, berganti dengan limpahan kekayaan.
Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu.

Maka sekarang, dia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berbisnis. Dia ingin berikan semuanya kepadamu, berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya.”

Dengan perubahan drastis nasib hidupnya ini, Ahmad bin Miskin melanjutkan ceritanya,

“Kalimat puji dan syukur kepada اللّٰه ﷻ berdesakan meluncur dari lisanku. Sebagai bentuk syukur. Segera kucari wanita faqir dan anaknya tadi. Aku menyantuni dan menanggung biaya hidup mereka seumur hidup.

Aku pun terjun di dunia bisnis seraya menyibukkan diri dengan kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal shalih. Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa berkurang.

Tanpa sadar, aku merasa takjub dengan amal shalihku. Aku merasa, telah mengukir lembaran catatan malaikat dengan hiasan amal kebaikan. Ada semacam harapan pasti dalam diri, bahwa namaku mungkin telah tertulis di sisi اللّٰه ﷻ dalam daftar orang orang shalih.

Suatu malam, aku tidur dan bermimpi. Aku lihat, diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat. Aku juga lihat, manusia bagaikan ombak, bertumpuk dan berbenturan satu sama lain.

Aku juga lihat, badan mereka membesar. Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memanggul dosa-dosa itu masing-masing di punggungnya.

Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yang memanggul di punggungnya beban besar seukuran kota Bashrah, isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan.

Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku untuk perhitungan amal.

Seluruh amal burukku ditaruh di salah satu sisi timbangan, sedangkan amal baikku di sisi timbangan yang lain. Ternyata, amal burukku jauh lebih berat daripada amal baikku..!

Tapi ternyata, perhitungan belum selesai. Mereka mulai menaruh satu persatu berbagai jenis amal baik yang pernah kulakukan.

Namun alangkah ruginya aku. Ternyata dibalik semua amal itu terdapat NAFSU TERSEMBUNYI. Nafsu tersembunyi itu adalah riya', ingin dipuji, merasa bangga dengan amal shalih. Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satupun amalku yang lepas dari nafsu-nafsu itu.

Aku putus asa.

Aku yakin aku akan binasa. Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari siksa neraka.

Tiba-tiba aku mendengar suara,

أَلَمْ يَبْقَ لَهُ شَيْءٌ ؟؟

"Tidak adakah kebaikan yang tersisa untuknya?"

Lalu ada yang menjawab,

بَقِيَ هَذَا !!

"Tinggal ini yang masih tersisa"

Aku pun penasaran, amal baik apa gerangan yang masih tersisa? Aku berusaha melihatnya.

Ternyata, itu HANYALAH dua lembar roti isi manisan yang pernah kusedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya.

Habis sudah harapanku...
Sekarang aku benar benar yakin akan binasa sejadi-jadinya.

Bagaimana mungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku, sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah (100 dinar = +/- 425 gram emas = Rp 250 juta), dan itu tidak berguna sedikit pun. Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan oleh perbuatanku sendiri.

Segera 2 lembar roti itu ditaruh di timbanganku. Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak turun sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sampai-sampai lebih berat sedikit dibandingkan timbangan kejelekanku.

Tak sampai disitu, tenyata masih ada lagi amal baikku.

Aku melihat ternyata airmata wanita miskin yang menangis setelah menerima roti itu, ketika aku lebih mengutamakan dirinya dan anaknya dibanding keluargaku sendiri. Dan deraian airmatanya pun diletakkan di dalam timbangan. Airmata itu tiba-tiba memancar seperti ombak lautan, lalu membesar dan membesar. Sementara piring kebajikanku menjadi unggul dan terus unggul, hingga aku mendengar suara yang mengatakan,

قَدْ نَجَا

"Sungguh dia telah selamat"

Aku pun berteriak dengan keras hingga aku terbangun dari tidurku.

Wallahu A'lam.

Kisah ini disebutkan dalam kitab Wahyul Qalam karangan Musthafa Shadieq Ar-Rafi'i  jilid 2 halaman 153-160

S a h a b a t   t e r c i n t a . . .
Beramallah, karena kebajikan sekecil apapun kelak akan membahagiakan kita tatkala kita melihat balasannya, dan jauhilah dosa, karena sekecil apapun dosa kelak akan membuat kita gelisah bahkan berpeluhkan keringat tatkala kita melihatnya tertulis rapi di catatan amal kita kelak. Semuanya akan tercatat dengan sempurna; besar-kecilnya, tampak-tersembunyinya, bersih-kotornya, suci-nodanya. Maka, mari mengeja setiap kebaikan, seberapapun kecilnya, karena kita tidak tahu kebaikan mana yang akan diterima oleh Allah ﷻ, dan memperberat timbangan kebajikan kita.

Rasulullah ﷺ bersabda,

اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ التَّمْرَةِ

“Jagalah diri kalian dari api neraka walaupun dengan separuh butir kurma.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

اللّٰه ﷻ akan menerima amal shalih sekecil apa pun asal disertai niat yang ikhlas. Sebaliknya, Allah ﷻ tidak akan menerima amalan sebesar apa pun jika tidak dilandasi keikhlasan.

• Masih adakah terselip dalam hati kita nafsu ingin dilihat hebat oleh orang lain pada ibadah dan amal-amal kita???

• Marilah kita bersihkan niat dalam setiap amal perbuatan kita. Karena kita tidak akan tahu, amal atau perbuatan baik kita yang mana, yang diterima اللّٰه ﷻ dan mendapat ridha-Nya.

وَاللهُ يُوَفِّقُنَا لِمَا يُحِبُّهُ وَ يَرْضَاهُ

• Semoga اللّٰه ﷻ Karuniakan TaufieqNya kepada kita semua untuk menuju jalan yang dicintai dan diridhai-Nya

اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَـعْبَانَ وَبَلِّـغْنَا رَمَضَانَ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar