PERTANYAAN :
1) kopiah, peci, dan segala macam penutup kepala untuk pria itu sunnah Rasul atau sekadar budaya yang sehingga tidak berdampak pada hukum syar'i wajib, sunnah, haram?
2) saya pernah dengar bahwa lelaki yang gundulan (tidak menutup kepala) maka dia fasik dan setiap kesaksiannya dalam hukum tidak diterima. Mengapa bisa demikian ?
JAWABAN :
1. Hukumnya sunnah bagi laki-laki saat sholat, memasuki kamar kecil dan didaerah yang kebiasaan tempatnya memakai tutup kepala.
Memakai PECI sudah dapat mencukupi kesunahan memakai sorban sebagian para Masyayikh menyatakan kebagusannya terutama dikalangan pengikut Syekh Abdul Qadir al-Jailany
Referensi :
[ Durr al-Ghamaamah hal. 2 ]
[ Bughyah al-Mustarsyidiin I/182 ]
[ Al-Fataawaa al-Fiqhiyyah al-Kubraa I/266 ]
2. Ia, betul bila di daerah yang masyarakatnya membiasakan diri bertutup kepala
Referensi :
Janganlah salah seorang kalian shalat dalam satu pakaian yang diatas bahunya tidak terdapat sesuatupun (HR Bukhari I/498, Muslim hadits No 516
[ SHALAT memakai SORBAN ] Ulama Fiqh sepakat akan kesunahan menutup kepala bagi laki-laki dalam shalat dengan memakai sorban dan sejenisnya karena nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan memakai sorban, sedang bagi wanita wajib menutup kepalanya.
Kalangan Hanafiyyah menilai makruh bagi laki-laki shalat dengan terbuka kepalanya karena malas sebab dapat mengurangi kewibawaan bukan karena unsure merendahkan diri dihadapan Allah. [ Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah XXX/304 ].
Berkata Imam Haramain, al-Ghozali, al-Baghowy dan ulama-ulama lainnya “Disunahkan bagi seseorang untuk tidak memasuki kamar kecil (WC) tanpa penutup kepala, berkata pengikut as-Syafi’i bila tidak menjumpai sesuatu maka letakkan lengan bajunya diatas kepalanya, juga disunahkan untuk tidak memasuki kamar kecil dengan tidak memakai alas kaki (seperti yang dituturkan oleh segolongan ulama diantaranya Abu al-Abbas Bin Suraij dalam kitab al-Aqsaam. “Adalah Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam saat memasuki kamar kecil memakai sepatunya dan menutup kepalanya” (HR Baehaqy). [ Al-majmuu’ alaa Syarh al-Muhaddzab II/92 ].
[FASAL] Dan tidak diterima persaksian seseorang yang tidak memiliki keperwiraan (wibawa) seperti orang yang banyak bicara, para penari, orang yang suka makan dipasar, jalan ditempat yang kebiasaan masyarakatnya tertutup kepalanya sebab keperwiraan bersifat manusiawy dan barangsiapa meninggalkan sesuatu yang bersifat manusiawy pemberian saksi palsunya tidak dirasa aman (sangat mungkin bersaksi palsu) dan karena seseorang yang sudah hilang rasa malunya pada orang lain tidak lagi memerdulikan apa yang telah ia perbuat.
Dalil yang dibuat sandaran dalam masalah ini adalah riwayat dari Abu Mas’ud al-Badry bahwa Nabi Muhammad bersabda “Sesungguhnya sebagian yang ditemukan dari kalam nubuwwat yang paling utama oleh orang adalah : Bila tidak ada rasa malu, maka berbuatlah semaumu..!!”. [ Al-majmuu’ alaa Syarh al-Muhaddzab XX/227 ].
Keperwiraan (wibawa) adalah beretika sesuai dengan kalangan, waktu dan tempatnya. Karenanya seperti makan dipasar, berjalan dengan kepala terbuka, mencium istri atau amat (sahaya wanita) dihadapan orang, banyak bercerita yang membuat tertawa, memakai pakaian laksana orang ahli fiqh Qubba, memakai peci yang tidak menjadi kebiasaan (setempat), hobby bermain catur, bernyanyi atau mendengarkannya, dan hobi berjoget dapat meruntuhkan keperwiraan. Dan segalanya memang berbeda-beda sesuai karakter, situasi dan kondisinya. [ Al-Manhaj li an-Nawaawy I/497 ]. Wallaahu A'lamu Bis Shawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar